Kamis, 18 Februari 2016



Perkembangan asuransi di Indonesia saat ini banyak mengalami kemajuan yang sangat pesat. Berbagai perusahaan asuransi berlomba-lomba menawarkan program asuransi baik bagi masyarakat maupun perusahaan. Seiring dengan perkembangan zaman, berbagai program syariah telah diusung oleh lembaga keuangan lain, banyak perusahaan asuransi yang saat ini juga menawarkan program asuransi syariah. 

Kita tidak akan tahu kejadian seperti apa yang akan kita alami pada masa datang. Ketidakpastian ini menimbulkan resiko. Resiko merupakan prediksi kerugian yang disebabkan karena adanya ketidakpastian. Seperti halnya kita tidak akan tahu kapan akan sakit, kapan akan meninggal, resiko akan datang tanpa kita ketahui kapan datangnya. Dari situ muncullah asuransi guna untuk mengurangi resiko atau kerugian financial yang ditimbulkan jika seseorang sedang mengalami musibah. 

Dalam prudential syariah dikenal dengan istilah “Risk Sharing” yang berarti setiap peserta berhak saling tolong menolong dan menerima pertolongan (jika mengalami musibah) sesuai dengan jumlah premi yang dibayarkan. Peserta akan melakukan asuransi tersebut dengan 2 akad yaitu akad hibah dengan membayar premi dan dikumpulkan sebagai dana tabarru’ (dana tolong menolong), akad kedua yaitu akad tijarah yang merupakan perjanjian antara peserta dengan pihak perusahaan (prudential syariah) yang akan mengelola dana tabarru’ tersebut dengan memperoleh imbalan atau fee. Dalam prudential syariah, pengelolaan keuangan dan operasi perusahaan diawasi secara penuh oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS) agar sesuai dengan kaidah dan aturan Islam.

Asuransi merupakan suatu mekanisme yang memberikan perlindungan pada tertanggung apabila terjadi risiko di masa mendatang. Apabila risiko tersebut benar-benar terjadi, maka pihak tertanggung akan mendapatkan ganti rugi sebesar nilai yang diperjanjikan antara penanggung dan tertanggung. Mekanisme perlindungan ini sangat dibutuhkan dalam dunia bisnis yang penuh dengan resiko. Secara rasional, para pelaku bisnis akan mempertimbangkan untuk mengurangi resiko yang dihadapi. Pada tingkat kehidupan keluarga atau rumah tangga, asuransi juga dibutuhkan untuk mengurangi permasalahan ekonomi yang akan dihadapi apabila ada salah satu anggota keluarga yang menghadapi resiko cacat atau meninggal dunia. 

Permasalahan asuransi ini muncul dikarenakan adanya konteks sistem kapitalisme dimana peran Negara harus seminimal mungkin. Hal itu karena Negara berkewajiban menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok tiap-tiap individu rakyat, dan menjamin pemberian kemungkinan kepada tiap orang untuk bisa memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai kemampuan. Begitu halnya kebutuhan pokok yang wajib dijamin pemenuhannya oleh Negara untuk tiap individu rakyat adalah pangan, sandang dan tempat tinggal. Negara juga wajib menjamin langsung pemenuhan kebutuhan akan kesehatan, pendidikan dan keamanan. 

Dengan demikian, tentu tidak akan diperlukan adanya asuransi pendidikan dan kesehatan karena pemenuhan pendidikan dan pelayanan kesehatan diberikan Negara secara gratis dan memadai kepada setiap individu rakyat. Dalam ketentuan Islam, Negara berkewajiban memelihara segala urusan rakyatnya. Diantara pemeliharaan urusan rakyat itu, Negara memberi bantuan yang diperlukan oleh rakyat dalam menjalankan usaha baik modal, sarana, informasi atau lainnya. Jika hal demikian diterapkan, maka asuransi dengan berbagai jenisnya tidak menjadi sesuatu yang penting di tengah-tengah masyarakat. 

Pada dasarnya asuransi syariah masih menginduk pada peraturan perundang-undangan tentang perasuransian secara umum di Indonesia antara lain diatur dalam KUHPerdata, KUHD dan UU No. 2 Tahun 1992 tentang perasuransian dan PP No. 63 tahun 1999 tentang perubahan atas PP no. 73 tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian kemudian UU terbaru No. 40 Tahun 2014 tentang perasuransian. 
Asuransi Syariah adalah kumpulan perjanjian, yang terdiri atas perjanjian antara perusahaan asuransi syariah dan pemegang polis dan perjanjian di antara para pemegang polis, dalam rangka pengelolaan kontribusi berdasarkan prinsip syariah guna saling menolong dan melindungi dengan cara: a. memberikan penggantian kepada peserta atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita peserta atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau b. memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya peserta atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya peserta dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.” 

Selain itu terdapat juga dalam fatwa DSN MUI yang mengatur tentang pedoman umum asuransi syariah, akad-akad yang bisa digunakan dalam asuransi syariah dan semua yang berkaitan dengan asuransi syariah. Menurutnya, asuransi syariah (Ta’min, takaful, tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah. Seperti fatwa DSN MUI NO: 21/DSN-MUI/X/2001 tentang pedoman umum asuransi syariah, fatwa DSN MUI NO: 52/DSN-MUI/III/2006 tentang akad wakalah bil ujrah pada asuransi syari’ah dan reasuransi syari’ah. 

Sedangkan disini akad yang dipergunakan dalam prudential syariah yaitu akad tijarah (mudharabah) dan akad tabarru’ (hibah), yang masing-masing akad tersebut mempunyai pengertian, yaitu: 

1. Akad tijarah (mudharabah) yaitu suatu akad yang dilakukan antara anggota/ peserta prudential dengan prudential syariah. Dalam hal ini prudential syariah bertindak sebagai pengelola (mudharib), sedangkan anggota/ peserta prudential syariah bertindak sebagai pemegang polis (shohibul maal). 

2. Akad tabarru’ (hibah) yaitu akad yang terjadi antar anggota/ peserta. Dalam akad ini anggota/ peserta tersebut memberikan hibahnya yang akan dipergunakan untuk menolong anggota/ peserta lain yang sedang tertimpa musibah. 

Dana merupakan milik anggota/ peserta, sedangkan prudential mempunyai kewajiban sebagai pengelola sesuai dengan prinsip syariah yang diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah. Hal ini seperti hadits berikut ini yang artinya, “Barang siapa melepaskan dari seorang muslim suatu kesulitan di dunia, maka Allah akan melepaskan kesulitan darinya pada hari kiamat, dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia suka menolong saudaranya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah) 

Dalam prudential syariah, setiap anggota/ peserta wajib memberikan dana hibah (akad tabarru’) kepada pihak prudential, sehingga jika ada peserta yang terkena musibah dan mengajukan klaim, maka klaim tersebut diambil dari dana hibah tersebut dengan prinsip tabarru’ atau tolong menolong. Jikalau anggota/ peserta tersebut tidak mengalami klaim dalam satu periode, maka dia berhak untuk mendapatka kembali bagi hasil. Ketentuan klaim dan manfaat yang bisa diambil semuanya telah tercantum dalam polis. Bahkan prudensial berkewajiban untuk menjelaskan hal-hal yang terkait dengan asuransi, sedangkan peserta wajib mengetahui tentang asuransi tersebut. 

Dalam hadits telah dijelaskan bahwasannya “Rasulullah saw melarang jual beli yang mengandung gharar.” (HR. Muslim, Tirmidzi, Nasa’I, Abu Daud, dan ibnu Majah). Dalam perbankan riba merupakan bunga, riba dilarang dalam Islam karena riba bersifat melebihkan jumlah pinjaman dari pinjaman awal berdasarkan persentase tertentu. Prudential syariah mempunyai ketentuan yang salah satunya menyebutkan bahwasanya prudential syariah tidak memberikan bunga dan juga tidak menanamkan investasinya ke dalam instrument keuangan yang berbasis pada bunga. Akan tetapi, prudential syariah melakukan investasi sesuai dengan fatwa DSN MUI, yang mana sesuai dengan prinsip syariah.


Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/nur-rahmawati/asuransi-prudential-syariah-halal-atau-haram_55929c5593fdfd6619eb3a88

0 komentar:

Posting Komentar